BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Alasan
Pemilihan Judul
Republik
Indonesia, jelas merupakan suatu Negara demokrasi, seperti Nampak pada alinea
keempat pembukaan UUD 1945 yang antara lain berbunyi “… dalam susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Bahwa republic Indonesia Negara demokrasi juga
Nampak dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat”, tetapi
bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi rakyat, melainkan demokrasi
pancasila. Pelaksanaan demokrasi pancasila yang menyangkut kehidupan politik
pemerintah dan kehidupan politik rakyat, dapat menjadi sarana untuk menggalang
kekuatan nasional yang pada akhirnya dapat menjelma menjadi ketahanan nasional,
khususnya dibidang politik. Dewasa ini bangsa dan Negara Indonesia sedang
berusaha mengembangkan wujud demokrasi Pancasila yang setepat-tepatnya dapat
berpengaruh positif dalam pembinaan ketahanan nasional.
1.2
Tujuan
dan Ruang Lingkup Penulisan
Maksud dan
tujuan penulisan ini ialah untuk ikut menyumbangkan bahan-bahan pikiran dalam
rangka pembinaan kehidupan politik yang sesuai dengan jiwa dan semangat
demokrasi Pancasila. Pelaksanaan demokrasi Pancasila dapat menyangkut kehidupan
politik pemerintah dan kehidupan politik rakyat. Kehidupan politik berkaitan
dengan soal-soal kehidupan lembaga-lembaga Negara, fungsi dan wewenangnya serta
hubungan satu dengan lainnya, atau dapat juga disebut bidang supra struktur
politik. Sedangkan kehidupan politik rakyat berkaitan dengan pengelompokan
rakyat ke dalam golongan-golongan kekuatan sosial politik, atau sering
jugadisebut bidang infra struktur politik.
Disadari bahwa
demokrasi Pancasila seharusnya diterapkan pula dibidang kehidupan ekonomi,
social budaya dan sebagainya, tetapi pada kesempatan ini, karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu, penulisan ini ditujikan untuk membahas
secara garis besar penerapan demokrasi Pancasila dibidang kehidupan politik dan
pemerintahan saja, yang sedapat-dapatnya mencakup bidang supra struktur dan
infra strutur politik dimaksud.
1.3
Pokok
Persoalan
Pokok persoalan dalam tulisan ini ialah
bagaimana menciptakan kehidupan politik (sektor pemerintah dan sektor rakyat)
yang sesuai dengan jiwa dan semangat demokrasi Pancasila.
Jawaban atas pertanyaan ini adalah
apabila mekanisme demokrasi pancasila berdasarkan UUD 1945 diwujudkan dalam
mekanisme pemerintahan yang nyata.
BAB 2
KEHIDUPAN
POLITIK YANG SESUAI DENGAN DEMOKRASI PANCACILA
2.1 Arti
Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang diwarnai atau dijiwai oleh Pancasila, bahkan salah satu sila dari
Pancasila yaitu sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, merupakan perumusan yang singkat dari demokrasi
Pancasila. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa sila-sila dari Pancasila merupakan
rangkaian kesatuan, yang tak terpisahkan, tapi tiap-tiap sila mengandung empat
sila lainnya, dikualifikasikan oleh empat sila lainnya. Pengertian demokrasi
Pancasila menurut para ahli:
·
Prof. Drs. Notonagoro SH
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan yang adil dan beradab,
yang berpesatuan Indonesia dan yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia
·
Prof. Dardji Darmodihardjo, SH
Demokrasi pancasila itu adalah paham demokrasi yang bersumber kepada
kepribadiaan dan filsafat hidup bangsa Indonesia, yang diwujudkan seperti
ketentuan ketentuan yang ada dalam Pembukaan dan Undang undang Dasar 1945.
Ciri-ciri khas demokrasi Pancasila
pada aspek materiilnya ialah kekeluargaan dan kegotong-royongan yang
bernafaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang dimaksudkan dengan kekeluargaan ialah
kesadaran budi pekerti dan hati nurani manusia yang tercermin dalam perilaku
sehari-hari, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk social untuk saling
tolong-menolong. Oleh karena itu ciri-ciri khas ini perlu dipertegas dengan
ciri khas pada aspek formal, yaitu pengambilan keputusan sedapat mungkin
didasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Dengan demikian tidak akan terjadi “dominasi
mayoritas” maupun “tirani minoritas” sebab pengertian atau paham mayoritas
serta minoritas tidak selaras dengan semangat kekeluargaan dan
kegotong-royongan.
2.2 Aspek-Aspek
Demokrasi Pancasila
Pembahasan arti demokrasi Pancasila
seperti diuraikan pada 2.1 dapat diperlengkapi dengan pembahasan melalui
aspek-aspeknya. Mengikuti pembahasan dari beberapa pihak dapatlah dikemukakan
adanya enam aspek, yaitu: aspek formal, aspek material, aspek normative, aspek
optatif, aspek organisasi, dan aspek kejiwaan.
a. Aspek
Formal
Aspek formal demokrasi Pancasila
mempersoalkan “proses dan caranya rkyat menunjuk wakil-wakilnya dalam
badan-badan perwakilan rakyat dan dalam pemerintahan dan bagaimana mengatur
permusyawaratan wakil-wakil rakyat secara bebas, terbuka, dan jujur untuk
mencapai consensus bersama”. Aspek ini, terutama yang menyangkut proses
penunjukan wakil-wakil rakyat melalui Pemilihan Umum, diatur berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang pemilihan Umum, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1975 dan dengan Undang-Undang Nomor 2
tahun 1980. Terakhir Undang-Undang itu diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1985.
b. Aspek
Materil
Meskipun aspek formal demokrasi
Pancasila telah terpenuhi belum berarti bahwa demokrasi Pancasila telah
terwujud, karena aspek formal hanya memperlihatkan bentuknya saja. Terlepas
daripada kenyataan-kenyataan praktek kehidupan bernegara dalam hukum, kesamaan
terhadap kesempatan dan jaminan akan hak-hak dan kewajiban asasi serta
kebebasan fundamental manusia merupakan prinsip-prinsip materil demokrasi
Pancasila.
B. Aspek
Normatif
Aspek normatif demokrasi Pancasila
mengungkakpakan seperangkat-seperangkat norma-norma yang menjadi pembimbing dan
kriteria dalam mencapai tujuan kenegaraan. Seperangkat norma-norma tersebut
harus dipatuhi dan dijunjung tinggi oleh manusia yang menjadi anggota pergaulan
hidup bernegara, baik ia sebagai penguasa negara maupun ia sebagai warga negara
biasa.
Dalam demokrasi Pancasila beberapa norma
yang penting dan harus ditonjolkan di sini adalah:
·
Persatuan
dan Solidaritas, adanya saling keterbukaan antara
penguasa Negara dan warga
Negara.
Saling keterbukaan ini memungkinkan adanya dialog yang mengarah pada
pengintegrasian berbagai macam gagasan, pendapat dan buah pikiran.integrasi
tersebut dapat memperkokoh persatuan dan solidaritas.
·
Keadilan,
dalam menyelenggarakan keadilan ini perlu diperhitungkan adanya kesamaan dan
perbedaan antar manusia. Keadilan dikemukakan sebagai berikut: keadilan
commutative, distributive, creative, vindicativa, legalis, dan protective.
Seluruh keadilan ini dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan manusia terhadap
manusia, mencegah tindakan sewenang-wenang dan menciptakan ketertiban dan
perdamaian.
·
Kebenaran,
kesamaan
antara gagasan dan pernyataan dalam kata dan perbuatan, atau antara kepribadian
dan pengakuannya. Norma keadilan akan lebih berarti bagi manusia apabila
dibarengi dengan norma kebenaran. Ketiga norma tersebut di atas ditambah dengan
norma kebenaran. Ketiga norma tersebut diatas ditambah dengan norma cinta,
yaitu cinta kepada bangsa, tanah air, Negara, dan sesame warga Negara dapat
dituangkan ke dalam peraturan hukum positif dan menjadi “aturan permainan” dalam
melaksanakan demokrasi Pancasila, yang harus ditaati oleh siapapun.
C. Aspek
Optatif
Aspek Optatif demokrasi Pancasila,
mengetengahkan tujuan atau keinginan yang hendak dicapai. Adapun tujuan
tersebut ada tiga, yaitu :
1) Terciptanya Negara Hukum,
ciri-ciri Negara hukum :
§ Supremasi
hukum, yaitu ketaatan kepada hukum atau “rule of law” baik pemerintah maupun
warga Negara biasa.
§ Kesamaan
kedudukan warga negara dalam hukum atau “equality before the law”
§ Pembagian
kekuasaan-kekuasaan politik secara factual dan operasional dan menyerahkan
masing-masing kekuasaan kepada badan-badan tertentu.
§ Prinsip
bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi serta kebebasan fundamental
merupakan kuasa daripada konstitusi atau UUD
2) Terciptanya
negara kesejahteraan atau “welfare state” yaitu negara berkewajiban
menyelenggarakan
kesejahteraan dan kemakmuran semua warga negaranya. Menurut paham ini negara
wajib memperhatikan sebesar-besarnya nasib warganegara masing-masing,
memberikan kepastian hidup, ketenangan dan taraf hidup yang layak bagi
kemanusiaan yang adil dan beradab.
3) Terciptanya
negara kebudayaan atau “culture state” yaitu negara yang berkewajiban
membimbing, bukan menguasai kebudayaan nasional. Karena
sifat kebudayaan nasional sangat erat pertaliannya dengan sifat negara maka
peningkatan kebudayaan, misalnya melalui pendidikan dalam arti luas, dengan
sendirinya membawa peningkatan daripada negara.
D. Aspek
Organisasi
Aspek
organisasi demokrasi pancasila mempersoalkan organisasi sebagai wadah
pelaksanaan demokrasi pancasila dimaksud, dimana wadah tersebut harus cocok
dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hubungan ini dapat dibedakan antara :
·
Organisasi sistem pemerintah atau
lembaga-lembaga negara
·
Organisasi lembaga-lembaga dan
kekuatan-kekuatan social politik dalam masyarakat.
Organisasi
sistem pemerintahan atau lembaga-lembaga negara dan organisasi lembaga-lembaga
dan kekuatan social politik ini hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan karena keduanya merupakan dua sisi atau dua muka dari hal yang satu
yaitu demokrasi Pancasila.
Organisasi
sistem pemerintahan dalam demokrasi pancasila dapat ditemukan ditingkat pusat
atau nasional dan apat pula ditemukan di tingkat daerah dan lokal, yang
kesemuanya telah diatur dan diterapkan dalam UUD 1945.
E. Aspek
Kejiwaan
Sekalipun
aspek-aspek yang telah disebutkan di point-point sebelumnya telah tersusun
dengan baik namun belum menjamin penyelenggaraan demokrasi Pancasila, jika
tiddak disertai atau dilengkapi dengan aspek kejiwaan. Aspek kejiwaan demokrasi
Pancasila adalah “semangat” seperti yang dipakai dalam penjelasan tentang UUD
1945, Umum IV, dalam kalimat sebagai berikut :
“Yang
sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup negara ialah semangat,
semangat para penyelenggara negara, semangat para pemerintahan”.
Dalam jiwa demokrasi Pancasila kita mengenal:
v Jiwa
demokrasi Pancasila pasif, yaitu jiwa yang meminta perlakuan secarademokrasi
Pancasila sesuai dengan hak-hak warga negara dan manusia dalam persekutuan,
golongan atau organisasi dan dalam masyarakat negara.
v Jiwa
demokrasi Pancasila aktif, yaitu jiwa yang mengandung kesediaan untuk
memperlakukan pihak lain, sesame warga negara dan manusia dalam persekutuan,
golongan atau organisasi-organisasi dan dalam masyarakat negara sesuai dengan
hak-hak yang diberikan oleh demokrasi Pancasila.
Jiwa demokrasi Pancasila pasif dan
aktif ini menghendaki warga negara berkepribadian, yang disatu pihak berani
menuntut hak-haknya, dan pihak yang lain memiliki watak cukup untuk memberikan
hak-hak atau memenuhi kewajiban. Di samping itu juga dikehendaki manusia yang
adil dan berada, dengan toleransi yang tinggi, tenggang-menenggang serta saling
menghormati.
v Jiwa
demokrasi Pancasila rasional, yaitu jiwa obyektif dan masuk akal tanpa
meninggalkan jiwa kekeluargaan dalam pergaulan masyarakat negara,
v Jiwa
pengabdian, yaitu kesediaan berkorban demi menunaikan tugas jabatan yang
didudukinya dan yang lebih penting lagi adalah kesediaan berkorban untuk sesame
manusia (masyarakat) sekelilingnya dan masyarakat yang ada di negara.
2.3 Suasana
Kehidupan Politik Suatu Bangsa
Dalam rangka menguraikan pelaksanaan
demokrasi Pancasila dalam praktek pemerintahan yang nyata (real government mechanism) maka terlebih dahulu perlu
diperkenalkan sistem politik yang berlaku pada setiap negara pada umumnya.
Sistem politik suatu negara akan selalu meliputi dua suasana kehidupan yaitu :
a) Suasana
kehidupan politik pemerintahan (the
governmental political sphere), merupakan hal-hal yang bersangkut-paut
dengan kehidupan lembaga-lembaga negara yang ada, suasana politik pemerintaha
ini pada umumnya dapat diketahui pertama-tama di dalam peraturan-peraturan
tertulisnya.
b) Suasana
kehidupan politik rakyat (the
socio-poolitical sphere), hal-hal yang bersangkutan dengan pengelompokan
warga negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam golongan yang
biasanya disebut sebagai kekuatan social politik dalam masyarakat.
Infrastruktur politik ini mempunyai 5 unsur atau komponen yaitu :
1)
Partai politik (political party)
2) Kelompok
kepentingan (interest group)
3) Kelompok
penekan (pressure group)
4) Media
komunikasi politik (political
communication media)
5) Tokoh
politik (political figure)
Suasana kehidupan politik pemerintahan
(organisasi sistem pemerintahan) dan suasana kehidupan politik rakyat
(organisasi kekuatan-kekuatan social politik) hanya dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan.
2.4 Mekanisme Demokrasi Pancasila
Berbicara tentang pelaksanaan
demokrasi Pancasila sebenarnya kita berbicara tentang mekanisme. Mekanisme
berasal dari istilah “mechanism”,
yaitu suatu istilah di dalam ilmu teknik mesin. Dengan meningat arti yang
diberikan ole hilum teknik mesin itu, maka istilah mekanisme selanjutnya dapat
diberi pengertian yang agak umum sebagai : suatu
susunan yang terdiri dari bagian-bagian yang dalam hubungan antara satu dengan
lainnya, menjelaskan satu kesatuan yang berproses.
Mengenai mekanisme demokrasi
Pancasila sudah diatur dalam UUD 1945, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan
demokrasi Pancasila pada lembaga-lembaga konstitusional di tingkat pusat maupun
yang berhubungan dengan pelaksanaan demokrasi Pancasila pada lembaga-lembaga
konstitusional di tingkat daerah.
a)
Mekanisme pada Lembaga-Lembaga
Konstitusional Tingkat Pusat
Pelaksanaan
demokrasi Pancasila pada lembaga-lembaga konstitusional di tingkat Pusat
menurut UUD 1945, harus mengikuti prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD 1945
atau yang melatar belakangi UUD 1945 tersebut di sampingnya mengikuti
prinsip-prinsip mekanisme demokrasi Pancasila pada umumnya.
·
Cita-Cita
kenegaraan kekeluargaan
Telah
dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa demokrasi Pancasila berpangkal tolak
dari paham kekeluargaan dan gotong royong. Pancasila dan cita-cita kenegaraan
bangsa Indonesia termuat di dalam pembukaan UUD 1945 dan oleh karena itu
ketentuan-ketentuan selanjutnya dalam pasal-pasal UUD 1945 diliputi oleh
suasana cita-cita kenegaraan kekeluargaan.
Cita-cita
kenegaraan ini sesuai dengan sifat kodrat manusia yang monodualistis, dalam
arti bahwa manusia di samping sebagai individu yang mandiri ia juga sebagai makhluk
social, yaitu bersama-sama dengan individu lain merupakan anggota masyarakat.
Berhubungan dengan itu manusia harus memiliki toleransi yang besar, menghormati
dan menghargai sesamanya, memperlakukan sesamanya sesuai dengan harkat dan
martabatnya makhluk Tuhan. Untuk terwujudnya hal ini diperlukan sifat
kekeluargaan.
Di
samping cita-cita kenegaraan kekeluargaan tersebut, di dalam ilmu politik
dikenal adanya tiga macam cita-cita kenegaraan yaitu:
a.
Kolektivisme,
yang berpendirian bahwa manusia merupakan bagian saja dari masyarakat
(kolektiva), tanpa masyarakat ia tidak berarti apa-apa oleh karena itu segala
usaha harus diarahkan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat; individu
kurang mendapatkan perhatian; cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai
negara-negara yang menganut paham komunisme, dimana cita-cita kenegaraan adalah
klas (klas pekerja) sebagai salah satu perwujudan dari kolektiva.
b.
Individualisme,
yang berpendirian bahwa manusia merupakan individu yang mandiri, dimana segala
usaha ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan tercapainya kebahagiaan
individu; cita-cita kenegaraan ini pada umumnya dijumpai di negara-negara Barat
yang menganut sistem demokrasi liberal.
c.
Integralisme,
yaitu paham nasionalisme integral, dimana negara bersatu dengan rakyat dan
mengatasi seluruh golongan yang ada dalam segala lapangan kehidupan dengan
kepemimpinan yang mutlak; cita-cita kenegaraan demikian ini biasanya menjelma
dalam kediktatoran.
Cita-cita
kenegaraan kekeluargaan dapat ditemukan dengan menafsirkan penjelasan UUD 1945
bab Umum ayat II, 1, yang berbunyi ‘… Jadi negara mengatasi segala paham
golongan, mengatasi segala paham perseorangan…” Oleh karena itu cita-cita
kenegaraan ini merupakan sumber dari mekanisme pemerintahan negara aka
kehidupan kenegaraan didasarkan pula pada asas kekeluargaan, dimana warganya
terdiri dari orang-orang yang tergabung di dalam kelompok-kelompok masyarakat;
golongan-golongan politik dan golongan karya. Dalam lembaga-lembaga
konstitusonal, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus dicerminkan atas kekeluargaan tersebut.
Dalam
DPR diusahakan agar setiap daerah tingkat II sekurang-kurangnya mempunyai
seorang wakil (pasal 5 ayat 2 huruf b), sehingga betapapun kecilnya jumlah
penduduk suatu daerah tingkat II dan betapapun jauhnya suatu daerah tingkat II
dari pusat pemerintahan negara, sebagai anggota “keluarga besar republik
Indonesia”, daerah tingkat II dijamin mendapatkan seorang wakil. Dengan
demikian daerah tingkat II tadi dapat ikut bermusyawarah untuk mufakat dalam
mengambil keputusan-keputusan pemerintah negara. Asas kekeluargaan ini lebih
jelas lagi apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal 6 II nomor 15 tahun 1969
dimana dinyatakan bahwa “jumlah anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum
di Jawa ditentukan seimbang dengan jumlah anggota yang dipilih di luar Jawa”,
sekalipun kita semua mengetahui bahwa + 2/3 jumlah penduduk Indonesia bermukim
di Jawa. Adapun anggota-anggota DPR yang diangkat berdasarkan ketentuan pasal
10 ayat 2, 3, 4, dan 5, UNdang-Undang nomor 16 tahun 1969, yang mewakili
anggota-anggota atau golongan-golongan masyarakat yang karena satu dan lain hal
tidak ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu wakil-wakil ABRI dan non ABRI,
juga dapat ditafsirkan sebagai perwujudan asas kekeluargaan. Dalam perkembangan
lebih lanjut, kemudian ditetapkan bahwa anggota DPR dan DPRD yang diangkat itu
hanya dari golongan karya ABRI, (pasal 16 ayat (4) dan pasal 17 ayat (4), serta
pasal 24 ayat (4) UNdang-Undang nomor 2 tahun 1985).
Dalam MPR, asas kekeluargaan juga dicerminkan dalam
keanggotaannya dimana ditentukan bahwa anggota-anggota MPR terdiri dari anggota
DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah, golongan politik dan golongan
karya. Keanggotaan MPR diusahakan mewakili semua golongan, semua daerah baik
yang ikut serta maupun yang tidak ikut
serta dalam pemilihan umum, sehingga mereka sebagai anggota keluarga dapat ikut
serta dalam pemerintahan negara.
·
Paham
Unitarisma atau Kesatuan
Paham Unitarisma ini merupakan
perwujudan dari sila persatuan Indonesia dimana sila persatuan Indonesia
terkait dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, sehingga dengan demikian pelaksanaan demokrasi
Pancasila harus bersifat memperkokoh paham unitarisma ini. Pembukaan UUD 1945
mengenai bentuk negara mengandung pokok pikiran ini, dan selanjutnya dipertegas
pada pasal 1 yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan
yang berbentuk Republik”.
Paham unitarisma ini tercermin juga pada
kelembagaan konstitusioal di tingkat Pusat. Sebagai implementasi dari aspek
formalnya, maka dalam sistem pemerintahan negara, MPR adalah satu-satunya lembaga
yang memegang kedaulatan negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tertinggi,
yang mempunyai tugas menetapkan UUD, dan GBHN. Selanjutnya dinyatakan presiden
sebagai mandataris MPR adalah pemegang kekuasaan pemerintahn tertinggi (pasal 4
ayat 1 penjelasan UUD 1945) dan pada presiden terletak kekuasaan dan tanggung
jawab (concentration of power and
responsibility upon the president).
Mengigat akan besarnya kekuasaan
pemerintah negara, maka dalam rangka menjaga keseimbangan, di samping presiden
sebagai lembaga eksekutif, diadakan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya :
§ DPR
sebagai lembaga pelaksana fungsi legislative bersama-sama dengan presiden
(Pasal 5 UUD 1945), DPR memakai sistem satu kamar (mono kameral).
§ DPA
sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi konsultatif (pasal 16 UUD 1945)
§ BPK
sebagai lembagayang melaksanakan fungsi inspektif (pasal 23 UUD 1945)
§ Mahkamah
Agung sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi judikatif (pasal 24 UUD 1945)
Dalam
pelaksanaan tugas menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari presiden, mengingat
ahwa lingkup tugas itu adalah sedemikian luasnya, mendekonsentrasikan
wewenangnya secara horizontal kepada pembantu-pembantunya yaitu :
§ Menteri-menteri
atau Pimpinan departemen-departemen (pasal 17 UUD 1945)
§ Pejabat-pejabat
pimpinan lembaga non departemen
Khusus
dibidang pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dan koordinasi atas
kegiatan-kegiatan instansi vertikal atau Kantor Wilayah Departemen di daerah
wewenang tersebut dilimpahkan langsung kepada kepala wilayah atau daerah
sebagai wakil pemerintah pusat di daerahdengan pembinaan dari departemen dalam
negeri.
·
Paham
Negara Hukum
Aspek optative
demokrasi Pancasila antara lain ialah negara hukum. Pembukaan, batang tubuh
(pasal-pasal) dan penjelasan UUD1945 membuktikan hal tersebut.
Dalam pembukaan
UUD 1945 dijumpai istilah-istilah “perikeadilan”, pada alinea I, “adil”, pada
alinea II, “keadilan social, dan “kemanusiaan yang adil dan beradab” pada
alinea ke IV. Istilah-istilah tersebut jelas berindikasi kepada pengertian
negara hukum, oleh karena keadilan itu merupakan salah satu tujuan yang hendak
diacapai oleh hukum.
UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar” (pasal 4).
Selanjutnya sumpah presiden dan wakil presiden antara lain berbunyi: …memegang
teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya…” (pasal 9). “Semua warganegara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjunghukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” (pasal 27). Semua ketentuan ini, ditambah dengan adanya
pembedaan kekuasaan dan membagikannya kepada lembaga-lembaga eksekutif
(presiden dan menteri-menteri) legislative (presiden bersama DPR), konsultatif
(DPA), inspektif (BPK) dan judikatif (mahkamah Agung) merupakan bukti-bukti
tentang paham negara hukum.
Inti
daripada negara hukum adalah bahwa sesuatu keputusan pemerintah tidak dapat
diambil, apabila tidak didasarkan atas hukum yang sudah ada, dalam arti hukum
yang wajar dan bukannya hukum yang diadakan secara mendadak atau yang
sewenang-wenang. Dalam arti material, sesuatu tidak berlaku mendadak melainkan
berdasarkan atas jenjang hukum yang telah ada dan atas keadilan. Segala sesuatu
yang menyangkut hajat hidup orang banyak harys diatur oleh pemerintah.
·
Paham
Konstitusionalisme
Dalam penjelasan
UUD 1945 dinyatakan bahwa “pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak dapat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).” Hal ini
berarti bahwa pemerintahan Indonesia menganut paham konstusionalisme, yaitu
suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
konstitusi. Suatu konstitusi akan menjadi fondasi negara, yang mengatur
pemerintahannya, memerinci kekuasaannya dan memimpin tindakan-tindakannya.
Kekuasaan badan-badan atau lembaga-lembaga negara, demikian pula kekuasaan
pejabat-pejabat pemerintah hanyalah apa yang ditetapkan oleh konstitusi atau
Undang-Undang Dasar baginya. Ini berarti bahwa setiap lembaga negara atau
pejabat pemerintah yang melampaui ruang lingkup kekuasaan ang telah ditetapkan
oleh konstitusi, kehilangan haknya untuk menuntut pengindahan dan ketaatan
rakyat terhadap kebijaksanaan atau keputusannya.
Jaminan utama
gara para lembaga-lembaga negara atau pejabat-pejabat pemerintah tidak
melampaui batas kekuasaannya, adalah terlaksananya hak mengkritik dari rakyat
dan pengisian jabatan-jabatan yang penting atau bersifat politis melalui
pemilihan umum yang diadakan secara berkala. Dalam paham konstitusionalisme,
maka UUD 1945 berfungsi sebagai:
§ Dokumen
yuridis yang mengatur pembagian kekuasaan antara lembaga-lembaga atau
badan-badan negara, yaitu antara legislative, eksekutif, inspektif, konsultatif
dan yudikatif.
§ Institute
yang menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintahan serta menjamin hak-hak
warga negara, seperti hak antara pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan atau tulisan dan sebagainya.
Hubungan tata kerja antar
lembaga-lembaga konstitusional di tingkat pusat diatur dalam ketetapan MPR
nomor III/MPR/1978. Ketetapan MPR itu hakikatnya merupakan penegasan lebih
lanjut dari ketentuan-ketentuandalam pasal-pasal UUD 1945.
·
Supremasi
MPR
“Kekuasaan
negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat”,
demikian penjelasan UUD 1945, menegaskan kedudukan atau posisi MPR.
Oleh karena itu menurut
pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sedangkan pengertian
kedaulatan pda uumumnya ditafsirkan sebagai kekuasaan negara yang tertinggi,
maka dengan demikian negara kita yang menerapkan demokrasi Pancasila ini
menganut ketentuan “Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.”
Hal
ini berarti pula bahwa negara kita menganut paham supremasi MPR. Supremasi MPR
ini mengandung dua fungsi penting yaitu :
a. MPR
memiliki kekuasaan berdasarkan hukum (legal power) untuk menetapkan segala
sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, yaitu: menetapkan UUD dan
Garis-garis Besar Haluan Negara (pasal 3), memilih presiden dan wakil presiden
(pasal 6), mengubah UUD (pasal 37).
b. Tidak
adanya otorita tandingan, baik perseorangan ataupun badan yang mempunyai
kekuasaan untuk melanggar atau mengesampingkan sesuatu yang telah diputuskan
oleh badan berdaulat (MPR) itu. Prinsip ini sebenarnya juga memperluas
kekuasaan lembaga tertinggi negara tersebut sampai pada hal-hal yang belum atau
tidak diatur secara tegas dalam UUD, dengan membuat ketetapan-ketetapan
sendiri.
MPR sebagai penjelmaan rakyat
Indonesia, melingkupi dan mengatasi kekuasaan dari badan-badan negara atau
lembaga-lembaga tertinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu: presiden dan
wakil presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan
Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung.
Apa
yang tercantum dalam UUD 1945 dan penjelasannya mengenai MPR tersebut
dipertegas oleh Ketetapan MPR nomor III/MPR/1978, dimana dinyatakan bahwa:
1. MPR
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia adalah pemegang kekuasaan negara
tertinggi dan pelaksana dari kedaulatan rakyat.
2. MPR
memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk
membantu presiden.
3. MPR
memberikan mandate untuk melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara dan
putusan-putusan majelis lainnya kepada presiden (pasal 3).
Lain daripada itu MPR dapat
memberhentikan presiden sebelum habis masa jabatannya karena atas permintaan
sendiri, berhalangan tetap dan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara (pasal
4). “presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat…” (pasal 5 ayat 1) dan “…wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan
Sidang Istimewa Majelis khusus yang diadakan…” (pasal 5 ayat 2).
Pengambilan
keputusan pada asasnya diusahakan sejauh mungkin dengan musyawarah untuk
mencapai mufakat dan apabila ini tidak mungkin, maka keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak.
·
Pemerintahan
yang bertanggung jawab.
Menurut
penjelasan UUD 1945 dan Ketetapan MPR no. III/MPR/1978, Presiden sebagai
penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi bertanggung jawab kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Adanya sistem tanggung jawab presiden ini
sekaligus menunjukkan adanya sistem pemerintahan negara yang bertanggung jawab
(responsible government) di dalam kerangka demokrasi Pancasila.
Dalam
teori dikenal dua macam pengertian tanggung jawab, yaitu tanggung jawab dalam
arti sempit dan tanggung jawab dalam arti luas. Tanggung jawab dalam arti
sempit yaitu “tanggung jawab tanpa sanksi”. Lalu tanggung jawab dalam arti luas
yaitu tanggung jawab dengan sanksi.
Pertanggungjawaban
presiden dalam rangka demokrasi Pancasila menurut mekanisme UUD 1945 dapat
ditafsirkan sebagai sistem tanggung jawab yang luas, yaitu tanggung jawab
politis yang disertai sanksi. Hal ini diperkuat oleh adanya kemungkinan MPR
setiap waktu memberhentikan presiden dari jabatannya.
·
Pemerintahan
Berdasarkan Perwakilan
UUD 1945 yang
menganut paham kedaulatan rakyat dengan dasar dan bentuk negara kerakyatan
melaksanakannya dalam praktek dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan dianutnya ketentuan bahwa di samping presiden terdapat DPR maka sifat
demokratisnya UUD 1945, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, memperoleh bentuk yang lebih
nyata. Dengan demikian demokrasi Pancasila dilaksanakan dengan permusyawaratan
dimana warga negaranya melaksanakan hak-hak yang sama, tetapi melalui
wakil-wakilnya yang dipilih oleh dan yang bertanggung jawab kepada mereka
melalui proses-proses pemilihan yang bebas. Hal ini dikenaal sebagai
pemerintahan yan berdasarkan perwakilan (representative government).
Pemilihan
umum untuk memilih wakil-wakil rakyat adalah merupakan suatu keharusan dan
suatu lembaga yang sangat vital untuk demokrasi, bahkan merupakan aspek formal
dari demokrasi Pancasila. Suatu pemilihan umum yang bebas dan rahasia berarti
bahwa dalam suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk
menyatakan hasrat dan keinginannya terhadap garis-garis politik yang harus
diikuti oleh negara dan masyarakat dan terhadap orang-orang yang harus melaksanakan
kebijaksanaan tersebut.
Sekalipun
diatas telah dijelaskan bahwa adanya wakil-wakil rakyat yang dipilih secara
bebas dan rahasia merupakan syarat mutlak bagi demokrasi, bahkan merupakan
aspek formal dari Demokrasi Pancasila, adanya wakil-wakil rakyat yang diangkat
itu dapat diterima, mengingat anggota ABRI memang tidk memiliki hak memilih dan
dipilih, serta diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum tersebut.
·
Sistem Pemerintahan Presidensial
UUD 1945 yang
mengatur kekuasaan pemerintahan negara, dalam pasal 4 menetapkan bahwa presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Selanjutnya
menurut pasal 12 presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Pada penjelasan
UUD 1945 ditegaskan lagi, bahwa menteri-menteri ialah pembantu presiden;
menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Ketentuan ini adalah
konsekuensi dianutnya sistem presidensial dalam pemerintahan (Presidential
Government), dimana kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan presiden,
dengan demikian UUD 1945 menolak sistem tanggung jawab menteri seperti dikenal
dalam sistem parlementer.
Sebenarnya
apabila sistem presidensial ini dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang
bertanggung jawab, seperti diuraikan sebelumnya, maka kita dapati sesuatu yang
unik (khas), yaitu apabila ditinjau dari sistem tanggung jawab menteri-menteri
sistem pemerintahan menurut UUD 1945 adalah presidensial, sedangkan kalau
ditinjau dari segi kedudukan presidendan pertanggung jawabannya kepada suatu
badan Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka pada hakikatnya juga merupakan sistem
parlementer.
2.5 Unsur-Unsur Demokrasi Pancasila
·
Prinsip-prinsip demokrasi Pancasila
2. Pengambilan
keputusan atas dasar musyawarah
3. Peradilan
yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman)
merupakan badan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain
contoh Presiden, BPK, DPR atau
lainnya
6. Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1
ayat 2 UUD 1945)
8. Pelaksanaan
kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME,
diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun
orang lain
9. Menjunjung
tinggi tujuan dan cita-cita nasional
10. Pemerintahan
berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan
§ Indonesia ialah
negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machtstaat)
§ Pemerintah
berdasar atas sistem konstitusi (hukum
dasar) tidak bersifat
absolutisme
(kekuasaan tidak terbatas)
§ Kekuasaan yang
tertinggi berada di tangan rakyat.
·
Fungsi Demokrasi Pancasila
1.
Menjamin adanya keikutsertaan rakyat
dalam kehidupan bernegara, misalkan:
§ Ikut
menyukseskan pembangunan
§ Ikut
duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
2.
Menjamin tetap tegaknya negara RI
3.
Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan
RI yang mempergunakan sistem konstitusional
4.
Menjamin tetap tegaknya hukum yang
bersumber pada Pancasila
5.
Menjamin adanya hubungan yang selaras,
serasi dan seimbang antara lembaga negara
6.
Menjamin adanya pemerintahan yang
bertanggung jawab.
2.6 Demokrasi Pancasila dalam Beberapa Bidang
1.
Bidang ekonomi
Demokrasi
Pancasila menuntut rakyat menjadi
subjek dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah memberikan
peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan menjamin tegaknya
prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan
alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak agar semua rakyat memiliki
kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan negara. Dalam implikasi pernah
diwujudkan dalam Program ekonomi
banteng tahun 1950, Sumitro plan tahun
1951, Rencana lima tahun
pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan tahun dan
terakhir dalam Repelita kesemuanya
malah menyuburkan korupsi dan
merusaknya sarana produksi. Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila. Maka
secara kongkrit, rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam
menentukan kebijakan ekonomi.
2.
Bidang kebudayaan nasional
Demokrasi
Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan dan
kemajemukan budaya Indonesia
dapat tetap dipertahankan dan ditumbuhkembangkan sehingga kekayaan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik. Terdapat penolakan
terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi
berkembangnya budaya lokal sehingga identitas suatu komunitas mendapat
pengakuan dan penghargaan.
BAB
3
ANALISIS
DATA
3.1
Analisis Komparatif (Perbedaan
Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Negara Lain
1.
Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila adalah paham demokrasi yang
bersumber kepada kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia yang perwujudannya
seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
·
Dasar Demokrasi Pancasila
-
Kedaulatan Rakyat (Pembukaan UUD’45)
-
Negara yang berkedaulatan, pasal 1 ayat
(2) UUD 1945
·
Makna Demokrasi Pancasila
Keikutsertaan rakyat kehidupan bermasyarakat dan
kehidupan bernegara ditentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia,
demokrasi Pancasila berlaku semenjak orde baru. Demokrasi Pancasila dijiwai,
disemangati dan didasari nilai-nilai Pancasila. Dalam demokrasi Pancasila
Rakyat adalah subjek demokrasi, yaitu rakyat sebagai keseluruhan berhak ikut
aktif “menentukan” keinginan-keinginan dan juga sebagai pelaksana dari keinginan-keinginan
itu. Keinginan rakyat tersebut disalurkan melalui lembaga-lembaga perwakilan
yang ada yang telah dibentuk melalui Pemilihan Umum.
Di samping itu perlu juga kita pahami bahwa
demokrasi Pancasila dilaksanakan dengan bertumpu pada:
a.
Demokrasi yang berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa
b.
Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
c.
Berkedaulatan rakyat
d.
Didukung oleh kecerdasan warga negara
e.
Sistem pemisahan kekuasaan negara
f.
Menjamin otonomi daerah
g.
Demokrasi yang menerapkan prinsip rule of law
h.
Sistem peradilan yang merdeka, bebas dan
tidak memihak
i.
Mengusahakan kesejahteraan rakyat
j.
Berkeadilan sosial
2. Demokrasi Komunis
Demokrasi Komunis adalah demokrasi
yang sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu
yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang
rasional dan nyata. Demokrasi komunis munsul karena adanya komunisme. Awalnya
komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana
mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Komunisme
adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia.
Komunisme sebagai anti kapitalisme
menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal
atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai
oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi
demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti
liberalisme. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai
Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau
yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian buruh hanya dapat berhasil
jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran politburo
sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika
dicetuskan oleh politburo. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi “tumpul’
dan tidak lagi diminati.
Masyarakat sosialis-komunis
mendefinisikan rakyat sebagai lapisan rakyat yang menurut mereka, adalah rakyat
miskin dan tertindas di segala bidang kehidupan. Rakyat miskin (kaum proletar
dan buruh) akan memimpin revolusi sosialis melalui wakil-wakil mereka dalam
partai komunis. Kepentingan yang harus diperjuangkan bukalnah kemerdekaan pribadi.
Bahkan, kemerdekaan pribadi menurut masyarakat sosialis-komunis harus
ditiadakan karena satu-satunya kepentingan hanyalah kepentingan rakyat secara
kolektif, yang dalam hal ini diwakili oleh partai komunis. Dengan demikian
masyarakat sosialis-komunis, juga mengakui kedaulatan rakyat. Merekapun
menjunjung tinggi demokrasi, yang dikenal sebagai demokrasi komunis.
3. Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal adalah suatu demokrasi yang
menempatkan kedudukan badan legislative lebih tinggi daripada badan eksekutif.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam
demokrasi parlementer presiden menjabat sebagai kepala negara. Demokrasi
liberal sering disebut sebagai demokrasi parlementer.
Di Indonesia demokrasi ini
dilaksanakan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah no. 14 november 1945.
Menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Demokrasi liberal lebih menekankan
pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu ataupun
masyarakat. Dan karenanya lebih bertujuan menjaga tingkat representasi
warganegara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain.
Ciri-ciri
demokrasi Liberal:
·
Control terhadap negara alokasi sumber
daya alam dan manusia dapat tekontrol.
·
Kekuasaan eksekutif dibatasi secara
konstitusional
·
Kekuasaan eksekutif dibatasi oleh
peraturan perundangan
·
Kelompok minoritas (agama, etnis) boleh
berjuang untuk memperjuangkan dirinya.
3.2 Kesimpulan Analisis
Jadi,
perbedaan dari ketiga sistem demokrasi ini adalah demokrasi Pancasila dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena demokrasi Pancasila berasaskan
sila-sila Pancasila yang berlaku di Indonesia. Demokrasi Komunis bersifat
sangat keras, karena semua bidang-bidang di dalam negara yang menggunakan
sistem demokrasi ini dikuasai oleh negara atau pemerintah. Jadi pihak swasta
ataupun rakyat tidak diperbolehkan ikut campur dalam pemerintahan. Sedangkan
demokrasi Liberal hampir sama dengan demokrasi Pancasila, tetapi yang
membedakan demokrasi Liberal dan demokrasi Pancasila adalah saat pengambilan
keputusan pada saat terlibat masalah atau pemilihan umum.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Negara-negara
modern dewasa ini yang menamakan diri negara demokrasi, sekalipun dalam praktek
pelaksanaan demokrasi pada mekanisme pemerintahannya berbeda-beda, berusaha
menciptakan suatu sistem politik yang dapat menjamin perkembangan dan
pertumbuhan kekuatan nasionalnya. Seperti kita telah pahami semua bahwa
demokrasi Pancasila adalah “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan atau perwakilan” yang sebagai salah satu sila dari
Pancasila dikualifikasikan oleh sila-sila yang lain. Demokrasi Pancasila adalah
demokrasi yang ber keTuhanan Yang Maha Esa, ber kemanusiaan yang adil dan
beradab, ber persatuan Indonesia dan ber Keadilan sosial.
Ciri-ciri
khas demokrasi Pancasila dari aspek materiilnya ialah kekeluargaan dan
kegotong-royongan, bernafaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedang dari aspek
formalnya berwujud tata cara pengambilan keputusan yang pada
prinsipnyadidasarkan atas musyawarah untuk mufakat. Dengan demikian tidak akan
terjadi “dominasi mayoritas” ataupun “tirani minoritas”, sebab paham atau
pengertian mayoritas dan minoritas tidak sesuai dengan semangat kekeluargaan.
Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi memiliki aspek-aspek demokrasi yang aspek formalnya,
berupa pemberian kesempatan kepada rakyat memilih wakil-wakilnya dari
partai-partai politik melalui pemilu. Demokrasi Pancasila yang memiliki aspek-aspek
demikian ini dapat diterapkan atau dilaksanakan baik pada suasana kehidupan
politik pemerintah (suprastruktur) maupun pada suasana kehidupan politik rakyat
(infrastruktur).
Pelaksanaan
demokrasi Pancasila prinsip-prinsipnya adalah:
·
Cita-cita kenegaraan kekeluargaan
·
Paham kesatuan
·
Paham negara hukum
·
Paham konstitusionalis
·
Supremasi MPR
·
Pemerintahan yang bertanggung jawab
·
Pemerintahan berdasarkan perwakilan
·
Pemerintahan presidensial
·
Pemerintahan yang diawasi parlemen
·
Bukan sekularisma dan bukan clerikalisma
atau Theokrasi.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila
pada lembaga-lembaga Pemerintah Daerah mengikuti mekanisme yang berlaku bagi
lembaga-lembaga konstitusional.
4.2 Saran
Sebagai
warga negara Indonesia yang berbakti kepada negara Indonesia tercinta. Kita
harus selalu mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan yang sesuai
dengan demokrasi Pancasila atau sila-sila Pancasila. Sebenarnya kita masih
beruntung mendapatkan demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi Komunis, karena
demokrasi Pancasila masih memberikan kesempatan bagi kita warga negaranya untuk
mengutarakan pendapat.
Jadi,
kita tidak melestarikan atau melupakan Pancasila ini maka demokrasi Pancasila
ini akan tergantikan dan terlupakan sehingga lama-kelamaan akan menghilang.
Daftar Pustaka
1. Cita
dan Citra Hak Hak Asasi Manusia di Indonesia, karangan Ramdlon Naning, S.H.
diterbitkan oleh Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Program Penunjang
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
2. Drs.
Chotib, dkk. 2007. Kewarganegaraaan 1 Menuju Masyarakat Madani. Jakarta:
Penerbit Yudhistira.
3. Sharma,
P. 2004. Sistem Demokrasi Yang Hakiki. Jakarta : Yayasan Menara Ilmu
4. Ujan
AA,et.al. 2008. Pancasila Sebagai Etika Sosial Politik Bangsa Indonesia.
Jakarta: MPK Universitas Atma Jaya Jakarta